Sabtu, 28 April 2012

Antara UNHAS dan STAN (2)

( LANJUTAN )

Objek yang paling menakutkan di setiap Universitas di Indonesia, tak terkecuali di Unhas, adalah Senior. Bahkan ada sebuah wacana yang menyatakan bahwa mahasiswa baru zaman sekarang kebanyakan lebih takut kepada seniornya dibandingkan kepada dosennya. Berbagai pengalaman tentang berhadapan dengan senior di Teknik telah didapatkan oleh teman-temanku. Sepertinya, senioritas dalam kedok ‘Pembentukan Mental’ masih berkuasa dalam lingkungan kampus, meskipun sekarang senioritas itu dibungkus dengan
sampul yang lebih modern dan canggih.

Ketika hampir sebulan aku berada di Unhas dalam kerajaan Teknik, sebuah kabar mengejutkan sekaligus membahagiakan mulai beredar. Pengumuman USM STAN telah resmi diumumkan pada pukul 11 siang di situs resminya. Aku yang pada saat itu menghadiri kuliah Kewarganegaraan sangat terkejut menerima pesan singkat ( SMS ) dari ibuku bahwa lagi-lagi aku dinyatakan lolos di STAN. Sungguh aku tak percaya bahwa aku bisa segera berkuliah di Jakarta sebagai mahasiswa STAN. Aku tak percaya bahwa aku bisa mengalahkan 5.000-an pesaingku, khusus di daerah Makassar dan 80.000-an pesaingku di seluruh Indonesia. Selain itu, seorang auditor keuangan yang sangat bijaksana pernah berkata padaku bahwa aku masuk peringkat 500 besar dengan skor tertinggi dalam USM STAN. Hatiku bahagia mendengar penuturan itu.

Begitu aku mengetahui berita ini, sahabatku yang pertama di Unhas, Iwan, menanyakan hasil USM STAN kepadaku dan dia terlihat begitu senang setelah mengetahui bahwa aku lolos USM. Beberapa temanku pun mengetahuinya dan memberi selamat kepadaku. Aku tak tahu perasaan apa yang harus ku tampakkan pada rombongan kelas Teknik Informatika ini jika mereka semua tahu bahwa aku, teman mereka yang telah bersama-sama di Teknik Informatika selama lebih dari satu bulan ini, adalah salah satu orang yang mampu menaklukkan sulitnya USM STAN.

Seorang pemuda, anak Teknik Informatika sepertiku yang bernama Murtadi sangat antusias mendengarkan ceritaku saat mengerjakan soal-soal USM. Ia banyak bertanya tentang soal-soal apa saja yang paling banyak ku kerjakan. Namun, aku tahu, intinya dia ingin menanyakan sebuah pertanyaan pamungkas yang tersembunyi, “Bagaimana tipsnya supaya bisaki’ lulus USM STAN ?”. Kira-kira begitulah pertanyaannya. Dan aku menjawab dengan singkat, “Pelajari soal-soal USM tahun lalu ! Kerjakan soal-soalnya dengan jujur dan tenang. Ingat ! Perhatikan peraturan angka matinya. Dan satu lagi, yakinkan dalam hatimu bahwa kau bisa menjadi salah satu yang terbaik yang bisa menembus USM STAN itu”. Sejenak ia terdiam dan kemudian takjub mendengar jawabanku.

Hari pengumuman yang indah itu telah berakhir. Muncul lagi hari-hari lain yang penuh dengan kesibukan demi mempersiapkan berbagai macam persyaratan untuk mendaftar ulang di STAN. Sejak hari itu, tanggal 2 September 2009, aku secara resmi tak pernah lagi menampakkan wajahku pada seluruh civitas UNHAS. Pada hari yang berbahagia itu, aku secara resmi menyatakan memutuskan hubungan dengan Universitas Negeri Terbesar di Indonesia Timur itu. Pada hari itu, aku secara resmi mengundurkan diri sebagai mahasiswa baru di UNHAS. Dan pada hari itu pula, aku secara resmi telah menjadi mahasiswa baru di STAN.

Aku tak sempat mengucapkan ucapan “Selamat Tinggal” pada teman-temanku di Teknik Informatika. Untuk sekedar melihat wajah mereka pun, aku tak sempat. Sebenarnya, aku ingin pergi ke Unhas untuk terakhir kalinya pada hari terakhir BSS untuk sekedar mengucapkan “Good Bye”. Namun, hari-hariku setelah pengumuman USM itu selalu dikacaukan oleh pikiran bahagia, pikiran yang menerawang tentang indahnya berkuliah di STAN, dan pikiran-pikiran positif lainnya sehingga aku tak lagi berpikir dan tak lagi berniat untuk mengucapkan salam perpisahan terakhir pada teman-temanku di Teknik Informatika. “Maafkan aku, teman-temanku. Maafkan aku yang telah pergi tanpa pamit terlebih dahulu pada kalian. Aku berharap aku bisa bertemu lagi dengan kalian dalam keadaan sukses”. Begitulah kiranya isi hatiku, tumpahan perasaanku, jeritan hati kecilku kepada teman-temanku yang lucu dan sedikit apatis padaku, yaitu anak-anak Teknik Informatika angkatan 2009.

Aku akan membahas sedikit tentang persahabatanku dengan 3 orang sahabatku di Teknik Informatika. Aku punya beberapa orang teman yang langsung menjadi sahabat bagiku. Sahabat pertamaku adalah Iwan. Pemuda yang berasal dari Tana Toraja ini memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang komputer dan ia sangat cocok menjadi salah satu mahasiswa Teknik Informatika. Hatinya sangat baik dan dia selalu ada di sampingku sejak hari pertama PMB hingga hari terakhirku berada di UNHAS. Wajahnya adalah salah satu wajah terbaik yang mungkin tak akan kulupakan. Sahabat keduaku adalah Anto. Pemuda polos ini adalah pemuda yang sangat baik hati. Ia juga senantiasa memberitahuku tentang jadwal kuliah jika aku ketinggalan informasi. Ia adalah sahabat terbaikku setelah Iwan. Dan sahabat yang terakhir adalah Echi. Gadis manis ini memang tak terlalu dekat denganku. Namun, sifatnya yang mudah bergaul dengan siapa saja membuatku enjoy berbincang-bincang dengannya. Bahkan, aku serasa telah berteman dengannya selama bertahun-tahun. Itulah 3 orang sahabatku di Teknik Informatika. Harapanku saat ini, semoga aku bisa bertemu dengan mereka di suatu hari nanti.

Kembali lagi ke kisahku tentang STAN.

Jika aku mengenang kembali mengapa aku harus mendaftar di STAN, aku selalu ingin tertawa sendiri. Hal ini memang sangat lucu. Awalnya, aku hanya berniat untuk berkuliah saja di Teknik Informatika Unhas, berkuliah sebagai mahasiswa yang cerdas, dan kemudian bekerja sebagai informan yang baik nantinya. Semua itu berubah setelah seorang sahabatku yang satu bimbel denganku, Ika Handayani, mengajakku untuk mendaftar di STAN. Awalnya, aku menolak dengan alasan bahwa aku tidak direstui oleh ayahku untuk berkuliah di STAN. Namun, aku akhirnya luluh setelah ibuku juga menyuruhku untuk mendaftar di STAN. Berawal dari coba-coba inilah, aku berusaha untuk menjalaninya dengan baik sama seperti saat mendaftar SNMPTN. Walaupun awalnya aku tak terlalu tertarik berkuliah di STAN, namun aku tak ingin mengecewakan ibuku dan bibiku yang sudah men-support aku untuk mengikuti tesnya. Selanjutnya, aku mengikuti tesnya dengan baik.

Awalnya aku berpikir bahwa UNHAS mungkin sudah cukup bagiku sebagai tempat yang baik untuk menimba ilmu. Aku tak berpikir sedikitpun bahwa aku bisa menembus ujian yang sangat dahsyat itu. Aku hanya beranggapan bahwa aku tak cukup beruntung untuk bisa tersaring sebagai orang-orang terpilih di STAN. Aku justru menjagokan sahabatku, teman sebangkuku waktu SMA dulu, yaitu Pian, untuk bisa lolos seleksi kali ini. Ku akui, logika anak itu memang sangat berbeda dari logika orang lain. Ada kecerdasan tersembunyi yang tidak tereksplor dari dirinya. Selain itu, aku juga menjagokan semua orang paling jenius di seluruh penjuru Sulawesi Selatan. Pikirku, aku tak bakalan lolos. Mengapa ? Jawabannya, karena masih banyak orang-orang yang lebih jenius daripada aku. Masih banyak orang yang lebih pantas mendapatkan gelar mahasiswa STAN dibandingkan aku.

Secercah doaku dan doa ibuku yang menginginkanku untuk lolos USM STAN segera dijawab oleh Allah SWT. Pengumuman USM STAN itu mendeklarasikan bahwa yang lolos USM STAN dari daerah Makassar dan sekitarnya hanya 30 orang. Aku melihat namaku ada di sana. Ketidakpercayaanku atas hasil ini semakin mengukuhkan fakta bahwa dugaanku memang benar, USM STAN memiliki sistem penyaringan yang tak hanya mengandalkan prestasi akademis saja, namun lebih kepada manajemen mental dan perilaku.

Setelah aku bertemu dengan 29 orang luar biasa lainnya, aku baru tersadar bahwa tujuan penyaringan dalam USM STAN tidak hanya mencari orang-orang yang berbakat dalam hal akademis saja, namun juga tersembunyi aspek mental yang ingin digali. Aspek ‘keberuntungan’ menempati posisi yang strategis sebagai penentu keberhasilan seseorang dalam USM STAN. Jadi, aku berkesimpulan bahwa ada 2 hal yang paling dominan yang ada di dalam diri para pemenang USM STAN, yaitu kecerdasan logika dan keberuntungan mereka.

Ada banyak hal yang tak dapat ku lupakan sebelum keberangkatanku menuju Jakarta. Misalnya, pengorbanan ibuku yang tak kenal lelah mengantarku kesana kemari, mengurus seluruh biaya pemeriksaan kesehatanku di rumah sakit, dan lain-lain. Selain itu, aku juga tak rela meninggalkan adik-adikku yang seharusnya saat ini membutuhkan nasihat-nasihat dan perhatian yang lebih dari seorang kakak sepertiku. Aku sangat tidak rela meninggalkan kampung halamanku, pikirku saat itu.

Hal yang juga paling membuatku berkesan adalah seisi rumahku memiliki kesibukan yang baru, yaitu membantuku mengepak barang-barang yang akan ku bawa ke Jakarta. Aku dan adik-adikku seringkali saling beradu pendapat tentang barang-barang apa saja yang harus ku bawa. Nampaknya mereka menyimpan perasaan sedih dan bangga dalam waktu yang bersamaan. Keriangan dan keceriaan mereka yang mampu menghiburku saat itu membuatku semakin kuat dan semakin tegar sehingga aku merasa yakin bahwa aku bisa menggenggam masa depanku. Aku janji, keceriaan mereka akan ku balas dengan memberikan mereka kebahagiaan.

Sejujurnya, aku sangat dilema terhadap 2 pilihan yang Allah SWT berikan kepadaku. Kedua-duanya adalah pilihan yang sangat diidam-idamkan oleh semua calon mahasiswa di seluruh Indonesia. Aku harus memilih antara 2 kampus terbaik yang pernah ku kenal, UNHAS dan STAN. Aku harus memilih antara 2 jurusan terbaik yang pernah ada, Teknik Informatika UNHAS atau Akuntansi Pemerintahan STAN. Mungkin bagi orang lain, aku terlalu berlebihan bila menyebut UNHAS sebagai yang terbaik. Namun, bagaimanapun juga, UNHAS adalah rumah kedua bagiku. Aku sudah sangat bahagia bisa berkuliah selama sebulan di sana. Namun, ketika aku sedang menikmati keasyikan berkuliah di UNHAS, pilihan terbaik yang kedua pun datang padaku. Dalam hati, aku bertanya, haruskah aku melepas status mahasiswaku di UNHAS ? Haruskah aku menyambut nasib baik yang menungguku untuk memilih berkuliah di STAN ? Yang mana yang lebih baik, UNHAS atau STAN ? Aku terus menerus bertanya seperti itu pada diriku sendiri. Namun, petunjuk-Nya pun datang. Aku pun akhirnya dengan tegas memilih untuk berkuliah di STAN walaupun aku harus melepas kesempatan untuk berkuliah di UNHAS. ~_~

Sungguminasa, sebuah ibukota kabupaten yang menyimpan sejuta kenangan bagiku, tak ku sangka harus ku tinggalkan secepat itu. Namun, hati kecilku mengatakan bahwa kenangan itu tak terjalin indah jika aku hanya diam saja di sini dan meratapi kota kecil ini terus-menerus. Aku harus bangkit untuk menyongsong masa depanku di Jakarta. Lalu pada hari keberangkatan itu, aku dengan ikhlas, melepas adik-adikku, lingkungan tempat tinggalku, teman-temanku, kawan-kawanku, sahabat-sahabatku dan kota Sungguminasa serta Makassar, tentunya.

Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku berusaha untuk memunculkan perasaan bahagiaku walaupun saat itu aku tak mampu menutupi perasaan sedihku. Ibuku menghiburku dengan mengatakan bahwa aku sudah punya masa depan yang cerah, jangan lagi menengok ke belakang, jangan lagi memikirkan Makassar, jangan lagi memikirkan UNHAS yang sangat ku cintai, dan jangan lagi memikirkan apa-apa selain STAN, setidaknya untuk saat ini. Fokus saja pada STAN, demikian beliau menyampaikan nasehatnya padaku. Berulang kali beliau mengatakan hal yang sama sampai beliau bisa memastikan bahwa aku bisa menjadi semakin kuat dan semakin tegar meninggalkan kesedihanku, meninggalkan yang ada di belakang, dan meninggalkan segalanya. Dan hasilnya, aku pun akhirnya bisa memiliki perasaan bahagia itu seutuhnya. ^_^

Pertemuanku dengan 3 orang temanku sesama mahasiswa STAN membuatku semakin bahagia. Wajah-wajah ceria mereka membuatku bisa tersenyum kembali sehingga aku mampu melupakan segala kesedihanku. Mereka adalah Asnur, Amal, dan Taufiq. Jumlah rombongan kami berjumlah 6 orang, dengan 4 orang mahasiswa baru diikuti ibuku dan ayahnya Taufiq. Hari yang membahagiakan itu menjadi awal perjalanan panjangku menuju masa depanku. Menjadi akuntan adalah sebuah kepastian dan saat ini, saat aku berdiri, adalah saat di mana aku harus memastikan bahwa kepastian itu terwujud.

Saat pesawat kami mendarat dengan selamat di atas tanah Jakarta, aku tak henti-hentinya mengucap syukur karena rombongan kami telah tiba di Jakarta dengan selamat. Angin sepoi-sepoi yang berhembus di sepanjang lapangan terbang bandara Soekarno-Hatta membuatku semakin bersemangat untuk menjejaki kampus akuntansi terbaik di Indonesia. Dengan perasaan yang bahagia, rombongan kami membawa barang bawaan kami masing-masing keluar dari bandara, memesan rent-car, dan bergegas menuju STAN.

Perlu waktu satu setengah jam untuk bisa sampai ke kampus STAN. Setibanya di sana, ibuku, ayah Taufiq, dan Asnur langsung mencari kos-kosan yang tepat dan strategis. Setelah menunggu sekitar 45 menit, aku akhirnya bisa bernaung di kosan yang ibuku pilih. Tempatnya sangat strategis karena terletak di mulut gang Sarmili dan sangat dekat dengan gedung perkuliahan. Siang harinya, aku, Taufiq dan Asnur mendatangi tempat pendaftaran ulang dan langsung mendaftar ulang sebagai mahasiswa STAN. Malam harinya, 3 orang temanku yang lain juga tiba di STAN. Mereka adalah Afdal, Feri, dan Arman, sehingga jumlah kami sebagai perwakilan dari Makassar berjumlah 7 orang.

Setiap universitas memiliki cara-cara tersendiri untuk menyambut mahasiswa baru yang akan berkuliah di dalamnya. Misalnya saja, UNHAS mengadakan PMB ( Penerimaan Mahasiswa Baru ) yang diselenggarakan selama 4 hari dan dilanjutkan dengan BSS ( Basic Study Skills ) yang diselenggarakan setiap hari Sabtu selama 4 minggu berturut-turut. STAN juga memiliki acara penyambutan mahasiswa-mahasiswi baru dengan nama DINAMIKA ( Studi Perdana Memasuki Kampus ). Segala tentang DINAMIKA akan dibahas di bagian berikutnya.

Setelah pendaftaran ulang pada tanggal 8 September itu, panitia pendaftaran ulang memberikan sehelai kertas berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan pada waktu Pra-DINAMIKA dan DINAMIKA. Setelah menerima kertas itu, aku pun teringat perkataan seorang teman ibuku. Beliau pernah berkata bahwa DINAMIKA di STAN memang tidak mengandung unsur kekerasan sedikit pun, namun sebagai gantinya, tugas-tugas DINAMIKA lah yang akan menumpuk nanti. Aku tak bisa membayangkan seperti apa tugas-tugas yang akan diberikan.

Ibuku menemani hari-hariku di STAN selama 5 hari sejak hari keberangkatanku. Beliau rela meninggalkan pekerjaan kantornya demi mengantarkan anak kesayangannya ini ke Jakarta. Aku sangat bahagia melihat wajahnya yang berseri-seri ketika aku dinyatakan lulus di STAN. Bila ada orang yang paling antusias dan paling bahagian dengan kelulusanku di STAN hingga rela membantu mengurus segala persyaratan pendaftaran ulangya, maka ibuku lah orangnya. Ibuku adalah yang paling pertama menyarankan aku untuk berkuliah di STAN walaupun aku sudah berkuliah di UNHAS. Saat aku menanyakan mana yang sebaiknya aku pilih antara UNHAS dan STAN, ibuku menjawab dengan jawaban yang cerdas, “Nak, kamu sudah lolos masuk STAN. Profesi sebagai pegawai keuangan sudah ada di tanganmu. Sekarang adalah bagaimana caramu untuk menggapainya. Dan cara satu-satunya adalah memilih STAN sebagai tempat kuliahmu. Jangan kau ragu pada pilihanmu. Yakinkan hatimu bahwa STAN adalah tempat kuliah terbaik bagimu. Mama yakin bahwa kau bisa sukses di STAN asalkan kau mau bersungguh-sungguh menuntut ilmu di sana”. Sungguh, itu adalah jawaban tercerdas yang pernah ku dengar.

( BERSAMBUNG )

2 komentar: